Memories
(image from google)
Juni
2008
Sinar
matahari menyengat menyentuh kulit kulit dua sahabat yang tengah berjalan
menyusuri jalan yang padat oleh kendaraan kendaraan yang entah sampai kapan
akan terpatung ditempat. Suara klakson beberapa kali memasuki telinga mereka,
tapi biarlah barang kali orang orang itu tak sabar menunggu kapan
kendaraan-kendaraan mereka akan berjalan tanpa ada halangan lagi didepannya.
Dua
sahabat yakni lisya dan chatrine masih terus berjalan meskipun sinar matahari
memanggang kulit-kulit mereka hingga kemerah merahan. Layaknya seperti sepasang
kekasih, mereka berjalan sambil bergandengan tangan, tertawa, tersenyum seperti
tak pernah ada beban sedikitpun di kehidupannya.
Sungguh
indah, perbedaan yang sangat jauh diantara keduannya, tak menyulitkan keduannya
untuk saling mengisi dan memberi. Dalam komunikasi pun mereka sangat terbatas,
karena lisya yang tidak dapat berbicara dan mendengar suara, jika ia ingin
berkomunikasi ia akan menulisnya di dalam sebuah buku kecilnya atau menggunakan
bahasa isyarat dan menggunakan alat bantu dengar. Memang begitu sulit untuk
dibayangkan, namun mereka sudah terbiasa dengan keadaan itu. Namun meskipun
lisya memiliki kekurangan , chatrine tak pernah merasa malu mempunyai sahabat
seperti lisya. Ia justru merasa bangga karena memiliki sahabat yang berbeda
dari sahabat sahabatnya yang lain.
***
November
2008
“
chatrine, ayo kita makan” kata lisya melalui bahasa isyaratnya , chatrine pun
menyetujuinya. Kedua sahabat itu mampir di sebuah warteg kecil langanannya di
pinggir jalan dekat sekolahan. Kebetulan selera makan mereka sama, jadi
chatrine tak perlu repot repot bertanya kepada lisya ingin memesan apa.
Gado-gado adalah makanan yang sering mereka pesan bahkan penjualnya pun sudah
hafal betul dengan kedua sahabat itu. Selain harga yang relative murah, makanan
itu juga cocok untuk lidah lisya dan chatrine.
Meskipun
lisya tidak bisa berbicara, namun ia sangat suka bercerita kepada chatrine
dengan cara menulisnya atau dengan gerakan tangannya. Namun chatrine juga tidak
jarang merasa kesulitan membaca kata demi kata dari gerakan tangan lisya
walaupun sudah sejak SD hingga SMA mereka bersama.
kedua
sahabat itu pun kembali untuk pulang setelah gado-gado dan es cendol itu
berpindah ke perut lisya dan chatrine. Tak lupa chatrine membayarnya, untuk
kali ini chatrine mentlaktir lisya karna kemarin ia sudah ditlaktir oleh lisya
di kantin sekolah.
Meskipun
kekurangan lisya memerlukan perhatian khusus, ia tetap bersekolah di sekolah
biasa bersama chatrine. Teman-temannya juga tidak pernah membeda-bedakan lisya
dengan yang lain. Justru lisya sangat disayang oleh teman temannya karena
meskipun ia memiliki banyak kekurangan, ia cukup berprestasi di sekolahnya,
terutama di mata pelajaran matematika dan IPA.
Lisya
juga sudah beberapa kali menjuarai olimpiade matematika dan IPA dari antar
sekolah sekecamatan, kabupaten, provinsi bahkan nasional. Itulah yang membuat
chatrine bangga memiliki sahabat seperti lisya. Sedangkan chatrine, ia sangat
ahli di bidang seni dan drama. Bahkan ia pernah mendapat penghargaan dari duta
besar india. Dan pernah diundang untuk bermain drama di jepang.
***
February
2008
Sore
yang teduh adalah waktu yang cocok untuk keluar jalan jalan. Tapi tidak untuk
chatrine, saat ini ia tengah terbujur lemas di kamarnya. Sejak pagi tadi
badannya terasa pegal-pegal, pusing, mual bahkan sewaktu jam pelajaran keempat,
chatrine pingsan dan harus dibawa ke UKS tanpa sepenetahuan lisya. Berkali kali
handphone-nya berdering, namun chatrine tak menghiraukannya. Matanya seperti
buta, pendegarannya seperti tersumbat dan lidahnya kelu saat akan berbicara,
itulah yang sedang dirasakan chatrine.
Sedang
di sisi lain, olien yang juga sahabat chatrine beberapa kali menghubunginya
namun hasilnya nihil. Dia khawatir jika ada sesuatu yang terjadi pada chatrine.
Olien pun menghubungi rhaka, sepupu chatrine. Ia berharap chatrine sedang
bersama rhaka, namun chatrine tidak sedang bersama rhaka. Olien semakin cemas
dan karna takut jika ada sesuatu terjadi pada chatrine, olien dan rhaka pergi
ke rumah chatrine. Secara beramaan rhaka dan olien sampai di rumah olien dan
segera mengetuk pintu rumah chatrine, berkali kali pintu diketuk tapi tak
seorang pun membukakannya. Setelah olien mencoba membuka pintu rumah chatrine
ternyata pintunya tidak dikunci. Kebetulan orang tua chatrine tengah di jerman
dan pembantunya pulang kampong sejak 2 hari yang lalu. Olien dan rhaka pun
bergegas menuju kamar chatrine yang berada di lantai 2.
Rhaka
membuka kamar chatrine yang tidak terkunci dan mereka melihat chatrine terbujur
lemas di tempat tidur tengah mengigil dengan kedua mata tertutup tanpa
berselimut. rhaka dan olien segera membawa chatrine ke rumah sakit. Karna saat
itu rhaka membawa motor, chatrine diantar ke rumah sakit menggunakan mobil
olien sedangkan olien berganti membawa motor rhaka. Olien mengikuti mobilnya
yang dikendarai rhaka dari belakang tapi dipersimpangan jalan olien berbelok
menuju rumah lisya, karna ia harus memberitahu lisya tentang keadaan chatrine.
Setelah
sampai di rumah lisya, ternyata lisya tidak sedang berada di rumah, satpam yang
bekerja di rumah lisya memberitahu olien bahwa lisya dan kedua orang tuanya
pergi ke rumah sakit. “ mungkin rhaka sudah memberi tahu lisya” fikir olien.
Tapi dugaan olien salah, lisya pergi ke rumah sakit bukan untuk menjenguk
chatrine, namun ia ke rumah sakit untuk berobat. Sesampainya olien di rumah
sakit, olien berjumpa dengan ibu lisya dari arah berlawanan tengah lari kecil
sambil menangis.
“ tante,
tante farah. Kenapa tante menangis” Tanya
olien, ibu lisya spontan memeluk olien. Olien yang kebingungan hanya bisa
mengelus elus pundak ibu lisya masih dengan raut wajah bingung. Sepersekian
detik kemudian, ibu lisya melepaskan pelukannya dan menceritakan semua tentang
penyakit yang diderita lisya, olien sempat terkejut dengan apa yang diceritakan
ibu lisya bahwa lisya menderita kanker selaput lendir stadium akhir dan tifus
kronis, karna yang olien tahu, lisya tidak mengidap penyakit apa apa selain
sakit bawaan dari lahirnya yaitu tuli dan bisu.
Olien hanya bisa terdiam dan ia berharap apa
yang barusan ibu lisya katakan tidak benar benar terjadi. Sebenarnya masih
banyak yang ingin ibu lisya ceritakan, namun ia tak bisa ceritakan semuanya
sekarang karna dokter memanggilnya untuk segera ke ruangannya. Olien yang
teringat oleh chatrine segera beranjak dari tempat duduknya dan segera mencari
ruangan chatrine dirawat.
***
“
selamat bangun kembali chatrine” ucap olien ketika melihat olien tersadar,
berkali kali chatrine mengedip-kedipkan matanya untuk memperjelas
penglihatannya. Seorang wanita tinggi gemuk memakai baju kebangsaannya
yaitu blus biru dengan syal yang
dililitkan pada lehernya.
“o…olien?
Ucap chatrine terbata bata, ditambah suaranya yang agaknya serak. Olien pun
tersenyum dan mengulang ucapannya tadi
“
selamat bangun kembali chatrine” senyum olien lebar
“a…aku”
ucap chatrine lirih sambil memandangi area sekitarnya dengan tembok yang dicat
putih dengan sebuah lukisan besar di samping jendela
“di
rumah sakit bakti setia, kamu sakit tifus chat” memotong perkataan chatrine
“ udah
deh kamu tu ngak usah banyak bergerak,” ucap olien yang tengah menyelimutinya
Sebenarnya olien ingin memberi tahu
bahwa lisya juga sedang sakit dan dirawat di rumah sakit yang sama pula dengan
tempat dirawatnya chatrine saat ini, tapi niatan itu diurungkannya, dia tidak
tega untuk memberitahu chatrine.
Dilain tempat, lisya tengah berjuang
di ruang operasi. Kini ginjalnya tak befungsi lagi dan dokter harus melakukan
pencengkokan pada kedua ginjal lisya. Olien yang tengah duduk melamun
memikirkan kedua sahabatnya yang tengah sakit, dan dirawat di rumah sakit yang
sama pula. Tak lama lamunan itu membuyar begitu saja, pandangan olien pun
tertuju pada seorang laki-laki dan wanita yang tengah kebingungan. Olien
memicingkan matanya untuk memastikan apakah mereka adalah oran tua chatrine,
sepersekian dekit kemudian olien menyadari bahwa laki-laki dan wanita yang
kebingungan itu memang benar orang tua chatrine.
Olien segera beranjak dari tempat
duduknya dan berlari kecil menghampiri orang tua chatrine sambil memanggil
manggil namannya. Ayah dan ibu chatrine menoleh ke arah datangnya suara yang
memanggil-manggil nama mereka.
“ pa itu
olien, teman chatrine” ibu chatrine memberitahu suaminya sambil menoleh ke arah
olien
“om tante”
ucap olien setelah sampai di depan orang tua chatrine dengan napas ngos-ngosan.
“olien
dimana chatrine dirawat” tanyak ibu chatrine panic. Olien segera bergegas
berjalan setengah berlari menuju kamar rawat chatrine diikuti oleh kedua orang
tua chatrine dari belakang.
“jegreg….” Suara pintu terbuka
pelan, olien dan kedua orang tua chatrine masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi
aroma antibiotic. Di dalam ruangan itu chatrine tengah makan disuapi oleh
rhaka.
“chatrine..”
panggil ibu chatrine lirih, sejenak chatrine berhenti mengunyah dan merespon
suara yang ia dengar.
“mama..”
ucap chatrine datar
“
bagaimana keadaan kamu, baik kan. Maaf-in mama sayang . mama terlalu sibuk
hingga tidak tahu kalo kamu sakit.” Ujar ibu chatrine panic
“
mama..” chatrine memegang kedua tangan ibunya
“
chatrine tu ngak papa, mama ngak usah panic. Oh ya, kan ada raka dan olien. Mereka
yang udah bawa chatrine kemari” ucap
chatrine dan orang tua chatrine sangat sangat berterima kasih kepada rhaka
karna telah menyelamatkan putri satu satunya itu.
Tiba tiba saja olien teringat oleh
lisya ketika ia tengah duduk di kursi dekat ranjang yang ditiduri chatrine.
Karna chatrine tengah tidur, olien keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju
UGD tempat dimana lisya dirawat. Di depan UGD olien menemui rendi, kakak lisya
yang kebetulan ia juga mengenalnya.
“kak
rendi” sapa olien
“ eh,
olien ngagetin aja” kata rendi tersentak
“ lisya
gimana kak” duduk di samping rendi
“ ngak
tau, mungkin udah ngak ada harapan lagi” kata rendi mengeluh
“maksudnya”
Tanya olien yang tidak mengerti ucapan rendi barusan
“gue
ngak tau mau gimana lagi, gue tuh sebenarnya capek, liat adek gue keluar masuk
rumah sakit” ujar rendi putus asa.
“
memangnya operasi kemarin…”
“
berhasil, tapi belum pasti hasil cengkokannya berhasil” kata rendi memotong
ucapan olien
“ aku
masuk dulu ya kak” kata olien beranjak dari tempat duduknya.
***
Hari-hari di sekolah tak seindah
hari kemarin. Tanpa kehadiran kedua sahabatnya yang selalu menjadi penyemangat
olien. Seperti biasa setiap praktek kesenian drama, chatrine selalu yang
menjadi sorotan utama, tapi sekarang tidak ada
lagi yang menjadi sorotan utama. Dalam drama olien pun tak begitu ahli
dan sebenarnya olien sendiri tak begitu tertarik pada kesenian drama. Namun,
karna di dalam tubuhnya mengalir darah seni dari kedua orang tuanya yang
membuat olien mau menerima untuk ikut serta dalam ajang kesenian drama.
Secara pribadi dan menurut hobby,
olien lebih tertarik dengan olahraga permainan bola volley, karna menurutnya
volley dapat menghilangkan stress dan mengurangi sedikit beban di fikirannya.
Menurutnya, gemuk itu bukan suatu masalah asal masih dalam kategori normal dan
sehat, kata olien ketika ditanyai oleh guru olahraganya.
Si saat jam pelajaran matematika pun
olien masih merasa bosan karena tidak ada lisya. Sebab lisyalah yang selalu
mengajarinya ketika menemui soal soal yang menurutnya rumit dan susah untuk
dipecahkan.
Siang yang panas, pengap, dan suntuk
ini, olien masih bersemangat menyususri koridor rumah sakit untuk menjemput
chatrine yang sudah boleh pulang hari ini. Tapi semangat olien sedikit meredup
karna ketika ia sampai di kamar rawat chatrine, ia sudah tidak ada.
“yah
telat deh, pasti udah dijemput orang tuanya” gumam olien. Ketika ia berjalan
santai menuju pintu keluar rumah sakit, olien teringat akan lisya bahwa ia
masih dirawat di rumah sakit ini.
“gimana
ya keadaan lisya sekarang?, aku harap ada perkembangan.” Fikir olien ketika
berjalan menuju ruang UGD.
Suara tangis memenuhi ruangan
beraroma antibiotic itu, ketika olien memasukinya. Lisya kini telah berpulang
ke rahmatullah. Ia tak akan kembali lagi. Mungkin tuhan punya cerita lain
tentang alur cerita kehidupan lisya. Dan tepat dihari ulang tahunnya diusia 18 tahun,
lisya menurup umurnya. Kaget, kecewa, sedih, marah itulah yang kini dirasakan
olien. Kelopak matanya tidak dapat menampung lagi air matanya, perlahan lahan
dari sudut matanya keluar cairan bening yang semakin lama tumpah semua.
Hilanglah sudah sahabat yang selalu menjadi inspirasinya, yang selalu
mengajarinya, tertawa dengannya bahkan yang selalu menasehatinya.
***
Satu per satu orang-orang
meninggalkan tempat pemakaman. Tanah yang masih basah dan batu nisan yang masih
baru bertuliskan rachlisya putri binti brahmantio, lahir Surabaya 24 maret,
wafat 24 maret 2009. Olien menatap tajam lisan itu degan mata sayu-nya.
“rachlisya
putri, kita akan terus menjadi sahabat sehidup semati. Aku, kamu dan chatrine
akan tetap dalam satu hati. Ragamu oleh mati tapi jiwamu akan selalu hidup
untuk selamanya di dalam memori kami.” Ujar
olien pelan sebelum ia beranjak pergi dari tempat pemakaman lisya.
Mobil abu-abu yang olien kendarai
masih melaju pelan menyusuri jalanan yang kebetulan sedang sepi. Olien terus
berusaha agar konsentrasinya untuk mengendarai tidak buyar oleh lamunan lamunan
yang mengitari fikirannya. Namun sepersekian detik kemudian, lamunan lamunan
itu berhasil masuk ke dalam fikiran olien yang menyebabkan ia hampir saja lepas
kendali. Olien menghentikan mobilnya sejenak sambil menghela nafas panjang
untuk beberapa menit. Ia bingung bagaimana caranya untuk memberitahu kepada
chatrine. Kini tatapannya tertuju pada seorang anak kecil penjual bunga yang
tengah duduk di pinggir jalan. Ia berfikir untuk membelikan bungan mawar untuk
chatrine karna chatrine sangat suka dengan bunga.
Olien keluar dari mobilnya berjalan
menghampiri anak kecil penjual bungan mawar itu.
“
mawarnya berapa harganya?” Tanya olien mengagetkan anak kecil itu
“ ah,
mbak ini gagetin saja. Harganya 5000 satu tangkai mbak” ujar anak kecil itu
“ saya
beli semua” ucap olien melihat lihat mawar di lapak kecil
“
beneran mbak” ujar anak kecil itu tak percaya
“hhmmm…,
jadi semuanya berapa?” ujar olien
“80.000
mbak semuanya” ujar anak itu kegirangan
Olien
menyerahkan uang seratus ribuan kepada anak itu, namun anak itu menunduk
sebentar setelah menerima uang dari olien
“
kenapa, uangnya asli kok” olien melihat anak itu ragu,
“ bukan
itu mbak, masalahnya saya ngak punya uang kembaliannya, apa ngak ada selain
ini” menyerahkan uang seratus ribuan itu
kepada olien.
“
kembaliannya buat kamu” ucap olien spontan, anak kecil itu pun tersenyum
bahagia kemudian ia berpamitan pergi kepada olien. Tapi olien menghentikan
langkah anak kecil itu. Ia ingin mengantarkan anak kecil itu pulang dan anak
itu pun sangat senang ketika olien menawariya.
“
hahhhh, ini pertama kalinya saya naik mobil, saya belum pernah bertemu dengan
orang sebaik mbak ini. Oh ya, nama saya fahri mbak, umur saya 11 tahun” ujar
anak itu setelah masuk ke dalam mobil. Olien hanya tersenyum melihat perilaku
anak kecil itu ketika masuk ke dalam mobil olien.
“ namaku
olien” olien memperkenalkan diri kepada anak kecil itu dan berjabat tangan.
Olien mengantarkan fahri sampai di rumahnya. Hatinya terteguk ketika melihat
rumah fahri yang begitu sederhana namun terlihat apik dengan berbagai macam
deretan bunga di sepajang halamannya.
“ ini
rumah saya mbak. Tidak bagus sih” ucap anak itu sambil menunjuk ke sebuah rumah
kecil yang dikelilingi dengan bunga yang begitu banyak dengan rumah kaca
disamping rumahnya yang kurang lebih berdiameter 3X4 meter. Olien mengikuti
fahri dari belakang yang berjalan kedalam rumahnya, ia penasaran dengan
kehidupan fahri hingga ia bagaikan orang yang amnesia dengan kisahnya tadi pagi
dengan kehilangannya terhadap lisya.
“
assalamualaikum, mbok ada tamu” fahri masuk ke dalam rumah
“
walaikumussalam, eh ada tamu. Silahkan masuk “ seorang nenek tua berjalan dari
dapur dan menghampiri olien.
“ saya
olien nek” olien mengenalkan dirinya. Olien duduk di sebuah kursi kayu kecil
yang hampir rapuh
“ rumah
kecil yang sederhana, tapi begitu apik dengan tatanan yang rapi dan dikelilingi
dengan berbagai puluh macam jenis bunga” fikir olien tersenyum sambil melihat
interior rumah yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
“ maaf
ya mbak rumahnya jelek.” Fahri berjalan dari dapur menghampiri olien dengan
membawa secangkir teh manis.
“ benar
benar sungguh indah, em nek apa saya boleh kesini lagi” olien bertanya kepada
nenek fahri yang sedang merajut benang wol berbentuk bunga mawar
“ o
boleh, boleh sekali” ujar nenek fahri senang
***
Mobil pick up putih telah terparkir
di halaman rumah chatrine, satu per satu pot bunga dengan ukuran besar hingga
kecil diturunkan dari bak mobil. Chatrine yang sedari tadi membantu olien
memindahkan pot pot bunga itu tersenyum lebar karna ia sangat bahagia sebab
koleksi bunganya bertambah
“ ada
untungnya juga punya temen kayak kamu lien” ujar chatrine dengan senyum
menyebalkan menurut olien
“ ya
lah, gue..” kata olien membanggakan dirinya sendiri. Setelah semua pot bunga
berpindah ke dalam rumah kaca, olien dan chatrine beristirahat sejenak di teras
rumah chatrine sebelum mereka pergi untuk mengembalikan mobil pick up milik
paman olien.
“
sebenarnya dimana sih kamu beli bunga yang bener bener sangat indah ini”
chatrine bertanya kepada olien namun tatapannya lurus ke depan tepatnya ia
menatap bunga bunga yang olien hadiahkan untuknya
“ kamu
pasti kaget, tercengang, heboh ngak karuan kalo sampai aku kasih tau tempatnya”
ujar olien menggoda chatrine dengan menyenggol bahunya
“ sampai
segitunya ya, aku jadi penasaran kayak apa sih tempatnya” ujar chatrine sambil
matanya melirik ke atas, menerawang seperti apa tempat yang diceritakan olien
“ itu di
pikir nanti, aku mau nagih janji ke kamu, soalnya cacing yang ada di perut aku
ni udah kesetanan gara gara dari tadi pagi ngak dijatah makan” ujar chatrine dengan muka yang dibuat se-memelas
mungkin.
“ iya
iya, makanan udah siap di meja makan, seperti keinginan tuan ratu. Sambal
goreng dan ikan panggang” kata chatrine menarik tangan olien supaya ia beranjak
dari tempat duduknya dan segera memberi makan cacing di dalam perutnya agar
cacing cacing olien kesetanannya tidak berlanjut begitulah fikir chatrine.
-BERSAMBUNG....-
(fat)
Posting Komentar untuk "Memories"