Jadilah Muslim Kesatria Jangan Pecundang
Secara umum tentunya sebagai seorang
manusia lebih suka menyalahkan orang lain, ketimbang memeriksa diri kita
sendiri. Ya, percaya atau tidak. Lihat misalnya di jalanan kita, tempat
orang-orang berlalu-lintas dari satu tempat ke tempat yang lain.
Masyarakat kita ini, yaitu masyarakat Indonesia, sangat unik sekali
suasana jalanannya. Banyak orang yang terlihat buru-buru dalam
berkendara. Banyak yang suka menyerobot, dan jarang yang mau mengalah.
Masing-masing merasa paling berhak dengan jalannya. Dan konon katanya,
perilaku masyarakat itu terlihat dari perilakunya di jalanannya.
Dan percaya atau tidak, ketika membaca
paragraf sebelum inipun banyak diantara kita yang membayangkan bahwa
kesalahan itu memang ada, pada orang lain. Jarang diantara kita yang
merasa bersalah, atau bahkan malu dengan perilakunya sendiri.
Jalanan kita adalah tempat yang
menyeramkan, karena perilaku-perilaku ini. Para pengendara motor merasa
tidak nyaman karena keberadaan mobil, bus atau becak sekalipun, karena
terganggu lajunya tersebab mereka itu, katanya. Pengendara mobil pun
demikian, sering merasa was-was dengan motor, sepeda dan lainnya karena
seringkali memotong lajunya. Dan lain sebagainya. Mungkin perlu juga
kita sebutkan banyak terjadi kecekalaan lalu lintas yang menyebabkan
saling bertengkar (bukannya saling menolong), karena masing-masing
merasa benar sendiri. Masing-masing merasa kesalahan bukan pada dirinya.
Mari kita perhatikan mengenai persoalan
ini : menyalahkan orang lain. Perilaku ini perlu kita ubah. Karena ia
tidak menyelesaikan persoalan. Mungkin bisa jadi perasaan kita merasa
lebih longgar karena persoalan telah dilimpahkan kepada orang lain.
Tetapi bukankah, persoalan itu sebenarnya belum selesai?
Menyalahkan, membuat kita enggan meminta
maaf, meskipun sebenarnya kitalah yang bersalah. Menyalahkan, membuat
kita sulit mencapai perbaikan dan kemajuan, karena persoalan tidak
terselesaikan. Dan orang tidak benar-benar memperhatikan cara
penyelesaian masalah itu. Namun hanya ingin “cuci tangan” dari
kesalahan.
Kita bisa menjumpai fenomena pendidikan
pada anak dengan pelajaran “menyalahkan”. Yaitu misalnya sang bunda
berkata kepada putranya ketika ia jatuh dan menangis karena tersandung
batu : “Aduh nak, tenang ya nak, tidak usah menangis. Ini batunya yang
nakal bunda pukul. Nih.. nih…”. Padahal apa salah batu? Anak diajarkan
untuk menyalahkan orang lain. Maka tidak perlu heran sang anak akan
belajar hal yang sama. Ketika nilainya buruk dia akan mengatakan
“Bapak/Ibu guru ngajarnya tidak enak Bunda.” atau kalimat semisalnya.
Dalam kehidupan Ayah Bunda pun demikian,
jika mental menyalahkan sudah menjadi kebiasaan, maka sering terjadi
Ayah menyalahkan Bunda ketika rumah berantakan, sementara itu Ayah
merasa dirinya sudah bekerja keras mencari nafkah. Padahal bisa jadi
karena Ayah yang kurang membantu. Bukankah Rasulullah mencontohkan untuk
membantu urusan rumah tangga, misalnya.
Dalam Al-Qur’an kita pun menjumpai peristiwa saling menyalahkan :
وَإِذْ يَتَحَاجُّونَ فِي النَّارِ فَيَقُولُ الضُّعَفَاءُ لِلَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُنَّا لَكُمْ تَبَعًا فَهَلْ أَنْتُمْ مُغْنُونَ عَنَّا نَصِيبًا مِنَ النَّارِ
“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?” (QS 40:47)قَالَ الَّذِينَ اسْتَكْبَرُوا إِنَّا كُلٌّ فِيهَا إِنَّ الَّهَ قَدْ حَكَمَ بَيْنَ الْعِبَادِ
“Orang-orang yang menyombongkan diri
menjawab: “Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka karena
sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan antara hamba-hamba-
(Nya)”. (QS 40:48 )
Penghuni neraka saling
berbantah-bantahan. Orang-orang yang dulu sekedar menjadi pengikut
menyalahkan orang-orang yang dulu mengajaknya melakukan pembangkangan.
Dan tentu saja orang yang mengajak itu tidak mau disalahkan. Dan
keduanya adalah sama.
Bagaimana dengan kita? Jangan-jangan
sama saja antara kita dan orang yang kita salahkan. Atau bisa jadi malah
sebenarnya kita yang salah, namun menyerahkan kepada orang lain. Dan
kemungkinan ketiga, jika ternyata kita tidak salah dan orang lain yang
salah, lalu kita menyalahkan orang itu, selesaikah permasalahan?
Dalam jejak kisah para sahabat kita
menjumpai teladan yang indah. Sebagaimana dikisahkan [1] Salman
Al-Farisi mengajukan diri menjadi jaminan bagi seorang pemuda yang
menjadi pelaku pembunuhan terhadap ayah dari dua kakak beradik. Si
pemuda itu karena kemarahan sesaat membunuh ayah dari kedua kakak
beradik disebabkan karena sang ayah membunuh kuda tunggangan pemuda itu,
karena kuda itu memakan tanaman dikebun ayah dan keluarga kakak beradik
itu. Maka kedua kakak beradik itu meminta kepada ‘Amirul Mu’minin Umar
ibn Khaththab untuk menjatuhkan hukuman qishosh. Nyawa dibayar dengan
nyawa.
Namun karena si pemuda ingin
menyelesaikan urusan amanah dikampungnya, maka si pemuda meminta tenggat
waktu 3 hari. Akan tetapi tidak ada penjamin waktu itu. Si pemuda tidak
memiliki kenalan seorang pun untuk menjamin dirinya, untuk menggantikan
dirinya, jikalau dia tidak datang pada hari ketiga. Dan hampir saja
Salman Al-Farisi benar-benar menjadi tebusan, untuk menggantikan si
pemuda itu.
Salman Al-Farisi kala itu ditanya oleh
Umar ibn Khaththab, mengapa ia mau menjamin si pemuda itu. Salman pun
mengatakan : “Sungguh jangan sampai orang-orang berbicara, bahwa tidak
ada lagi orang yang mau saling membagi beban dengan saudaranya. Atau
jangan sampai ada yang merasa, tidak ada lagi rasa saling percaya di
antara orang-orang Muslim.”
Dan akhirnya kedua kakak beradik itu pun
memutuskan untuk memamaafkannya. Saat ditanya kenapa keduanya memaafkan
pemuda itu, kakak beradik itu berkata : “Agar jangan sampai ada yang
mengatakan, bahwa dikalangan kaum Muslimin tidak ada lagi kemaafan,
pengampunan, iba hati dan kasih sayang.”
Teladan berharga ini perlu kita contoh.
Salman Al-Farisi bersedia untuk “pasang badan”, dengan keteguhannya.
Hingga akhirnya kisah ini berakhir sangat indah.
Jikalau banyak orang yang lebih memilih
untuk membantu orang lain, ketimbang menyalahkan dan melepaskan diri
dari kesalahan, tentu hal ini lebih baik. Persoalan-persoalan akan
terselesaikan. Izzah kaum muslimin pun akan naik, dan orang-orang akan
memandang mulianya akhlak perilaku muslimin.
Akan tetapi, kita ini lebih suka
menyalahkan orang lain, dan lebih suka berlepas diri dari masalah dan
tidak ingin membantu orang lain.
Artikel : http://belajarislam.com
Posting Komentar untuk "Jadilah Muslim Kesatria Jangan Pecundang"