Kita Yang Berbeda
Alula Shahin Lashira adalah seorang gadis dengan wajah kearab-araban
dengan senyuman imut yang memperlihatkan gigi kelincinya. kerudung yang
selalu membalut kepalanya sejak kecil tak pernah lepas dari kepalanya.
Lula menatap hpnya yang bergetar tanda BBM masuk, ia melihat nama yang mengirim pesan kepadanya barusan. Abraham Reynand yang biasa dipanggil Rey. Anak paskib sekaligus kakak kelas yang tampan dengan wajah seperti orang cina dan memiliki satu lesung pipi di sebelah kanannya yang tadi siang ia temui di Café CC seusai pulang sekolah. Ia sangat sering mengunjungi Café CC hanya sekedar memesan satu cheese cake dan secangkir frapuccino lalu duduk berjam jam sambil membaca novel berbau keagamaan yang diberikan oleh Uminya untuk memperdalam ilmu agama; katanya.
“Ooh jadi nama kamu Alula Shahin Lashira, yaa. Nama panggilannya apa, Dek?”
Lula mengetik balasan dengan cepat.
“Lula kak,”
“ooh lula yaa, btw maaf ya tadi siang aku nggak nanyain nama kamu balik :D”
“ooh iya kak gak papa, santai aja,”
“Lagi apa?”
Lula hanya membacanya saja tanpa berniat untuk membalas isi pesan dari Rey. Lula sangat membatasi hubungannya dengan lawan jenis karena Abinya tidak suka jika ia dekat dengan seorang pria yang bukan muhrimnya. Abinya juga melarang Lula pacaran, “Malu Kak sama kerudung, pacaran itu dosa. Kalau Kakak pacaran ntar Abi tendang dari kartu keluarga, mau?” begitu kata Abinya ketika melihat Lula sedang smsan dengan teman cowoknya. Ya Allah, kenapa disaat anak-anak SMA sedang asik-asiknya pacaran Lula malah tidak diperbolehkan pacaran?. Sebegitu mengenaskannya kah masa SMAnya? Lula sangat ingin merasakan hal itu walaupun ia tahu kalau itu dilarang oleh keyakinannya.
—
“Pagi Lula,” Rey muncul ketika Lula sedang berjalan menuju kelas setelah membeli buku di koperasi siswa.
“Pagi juga Kak, permisi” Lula tersenyum lalu menunduk sambil berjalan cepat meninggalkan Rey yang menatapnya penasaran.
Lula memasukkan buku-bukunya ke tas lalu membenarkan kerudungnya yang agak miring.
Seperti biasanya Lula kembali mengunjungi Café CC seusai pulang sekolah. Ia membuka pintu Café lalu matanya langsung bertatapan dengan sepasang mata yang menatapnya dengan pandangan teliti. Lula langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Ia duduk di kursi pojok sambil memakan cheese cakenya. Ia mendongak ketika Rey duduk di depannya tanpa meminta izin kepadanya.
“Siang Lula,” Rey tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
“Siang juga Kak,” Lula balas tersenyum lalu mengambil novel dan membacanya tanpa menghiraukan Rey yang menatapnya dengan pandangan terpesona.
“Suka ke Café ini sambil baca novel gitu ya?” Rey angkat suara setelah keheningan yang begitu dalam karena Lula yang terlarut dengan novel di tangannya sampai seperti tidak menyadari ada seorang manusia di hadapannya.
Imajinasi Lula buyar ketika suara Rey menginterupsi bacaannya.
“Iya Kak, aku udah sering kesini dari kelas 9 sampai kelas 10 sekarang.” ia lalu membaca novelnya kembali.
“Btw kelas Kaka ada di 12-Ips-2 dek, kapan-kapan mampir yaa? kan kelas kita deketan tuh,” kalimat yang membuat Lula seketika menatap heran. Perasaan tadi aku gak nanya dia kelas berapa deh. Pikirnya aneh.
Setelah kejadian itu, berbulan-bulan kemudian Lula dan Rey semakin dekat. Sampai-sampai Rey sering sekali mengunjungi kelas Lula hanya sekedar berbicara ringan dengannya. Lalu membelikannya novel fiksi remaja yang sangat ia inginkan dari dulu, karena ia sudah sangat bosan membaca novel berbau keagamaan. Mereka berdua juga sering ke Café bersama seusai pulang sekolah.
Lula menyembunyikan kedekatannya dengan Rey dari kedua orangtuanya sampai suatu kejadian ketika kegiatan rutin Abi tiap bulan yang selalu memeriksa ponsel Lula dan bodohnya Lula lupa menghapus chat historynya dengan Rey. Abi menemukan pesan-pesan yang sangat banyak dari Rey dan membuatnya murka seketika.
Abinya marah besar apalagi saat tahu Rey berbeda keyakinan dengannya. Lula hanya bisa menangis ketika Abinya marah dengan nada yang membentak terlebih ia sangat terkejut mengetahui bahwa Rey berbeda keyakinan dengan keluarganya. Ia baru tahu.
“Abi, Kakak gak tau kalau Rey beda keyakinan sama kita, hiks hikss,” Umi mengusap punggung anaknya lalu ikut menangis, ini baru pertama kali suaminya itu membentak anak semata wayangnya sendiri. Lula meremas sofa dengan tangannya, takut Abi akan semakin murka.
“Sekarang jawab Abi, kakak suka sama anak ini?” Abi berteriak lalu melempar ponsel Lula ke pintu sampai ponsel itu menjadi kerangka yang mengenaskan. Tidak berbentuk ponsel lagi.
Lula terdiam, yang terdengar sekarang hanyalah keheningan yang mencekam di antara mereka bertiga. Sesekali segukan terdengar dari mulut Lula.
“Iya, Kakak suka sama Rey,” jawaban yang membuat Umi menutup mulutnya tidak percaya. Ia sangat tahu masa-masa seperti Lula ini adalah masa-masa dimana mereka menyukai lawan jenis mereka, tapi dia merasa sangat sedih, kenapa disaat anaknya menyukai pria malah berbeda keyakinan dengan keluarganya yang sangat agamis. Terlebih kata orang, cinta beda keyakinan itu sangat kuat, dan sangat sulit untuk dilepaskan maupun dipisahkan. Dan itu membuat Umi sangat sedih, pilihannya hanya satu mereka berdua harus menjauh dari sekarang atau akan berdampak kedepannya.
“Jauhin dia.” Abi berucap dengan nada perintah yang sangat dingin. Abi lalu berjalan ke arah kamar dengan langkah gontai.
Seorang di luar sana mengetuk pintu lalu dengan sigap Bi ijah -pembantu- membukanya.
“Selamat sore, Lulanya ada?” Rey menatap heran ke bawah melihat sebuah ponsel yang hancur di depan kakinya.
Abi berhenti melangkah lalu menatap ke pintu. Seorang pria yang sangat ia yakini itu adalah Rey. Beraninya anak itu datang ke rumah. Batin Abi lalu mengampiri Rey di depan pintu yang menatap Bi Ijah dengan heran karena sepertinya perempuan tua itu gugup mau menjawab apa.
Rey mengalihkan tatapannya kepada dua orang wanita yang duduk di sofa, yang satu sedang menangis dan yang satu lagi sedang mengusap punggung wanita yang menangis sambil menatap bingung ke arahnya.
“Kamu yang namanya Rey?” Bi Ijah menyamping memberi tempat agar Abi bisa berbicara dengan tamu yang masih berada di depan pintu itu. Lalu ia pergi ke belakang berusaha agar tidak ikut campur dalam masalah keluarga ini.
Pandangan Rey beralih ke arah pria berperawakan tinggi besar dengan wajah kearab-araban yang menatapnya dengan amarah. Kenapa ini?. batin Rey bingung.
“I-iya Om, Kenapa Lula menangis?” tangannya bergerak lalu menunjuk Lula yang sedang menangis.
“Beraninya kamu datang ke rumah ini, plaakk” Abi menampar Rey sampai pipi sebelah kanan Rey tercetak 5 jari dengan warna merah. Rey meringis lalu memegang pipinya yang terasa panas. Matanya menyiratkan kebingungan sekaligus kemarahan.
“Saya baru datang dan sudah disambut dengan tamparan. Ini maksudnya apa, Om?” Rey menaikkan dua oktaf suaranya di akhir kalimat.
“Kamu yang sudah membuat Lula menangis, dan sekarang pergi kamu. Dan jauhin Lula!!” Abi berteriak lalu hendak menutup pintu tapi tidak jadi karena di tahan Rey.
“Nggak, gak akan, saya gak akan pergi sebelum om jelasin apa maksud semua ini?” Abi kembali membuka lebar pintu rumahnya. Lula yang tadinya hanya menutup wajahnya dengan telapak tangan menengadahkan wajahnya lalu menatap Rey yang terkejut melihat wajah Lula yang amat sangat berantakan.
“Boleh saya masuk? Tidak baik jika seorang tamu hanya berdiam di depan pintu tapi tidak di ajak masuk oleh pemilik rumahnya.” Ucap Rey dengan nada menyindir. Abi berdehem lalu menyuruh Rey untuk duduk di sofa.
“Kerja apa kamu?” Abi langsung melontarkan pertanyaan itu kepada Rey yang langsung di jawab Rey dengan kernyitan di dahi.
“Baru lulus SMA Om,”
“Cinta sama Lula?” tanya Abi dingin yang langsung membuat Rey terdiam. Lula melihat Rey dengan mata yang membengkak.
“Iya om,” jawab Rey lirih setelah sepuluh detik ia terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Lula cukup terkejut mendengar jawaban Rey, ia kira Rey tidak mencintainya seperti ia mencintai Rey. Ahamdulillah cintanya terbalaskan. Tapi yang sungguh tragis adalah di saat ia baru pertama kali menyukai laki-laki di saat itu juga ia tidak direstui oleh kedua orangtuanya. Cobaan yang begitu berat.
Abi bangkit lalu menuding wajah Rey, “Saya gak mau anak saya punya hubungan dengan kamu!, sekarang jauhin Lula dan biarkan dia hidup bahagia dengan pasangan hidupnya kelak yang pasti itu bukan kamu!” mata Abi memerah akibat berkobarnya api amarah di hatinya yang kembali menyala.
Umi bangkit lalu menyentuh bahu Abi berusaha menenangkannya. Abi kembali duduk dengan dada naik turun.
Rey sempat terkejut dengan ucapan Abi barusan. Tidak direstui kah?. Jelek kah aku?. Tak pantas kah aku mencintai anaknya?. Kata itu terus berputar-putar di kepala Rey yang membuatnya pening.
“Kenapa Om? Apakah saya tidak pantas untuk memiliki separuh hati anak Om? Apakah saya tidak pantas untuk bersanding dengan anak Om kelak? Apa saya terlihat sangat buruk di mata anda?….” Rey berucap dengan lirih seolah ini adalah cobaan yang begitu berat yang ia alami semasa hidupnya.
“Saya manusia Om, saya berhak memiliki rasa kepada siapa pun, termasuk kepada Lula,”
“Karena kita beda,” ucap Abi lirih.
Rey mulai mengerti apa masalahnya saat ini, ia paham. Sangat paham, yang dipermasalahkan dari hubungannya adalah keyakinan, yang membuat orang tua Lula tidak menyukai dia berhubungan dengan Lula adalah keyakinan. Yang membuatnya seperti ini adalah keyakinan. Iya keyakinan!. Sungguh alasan yang begitu membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Rey tersenyum miris. Ia tidak sadar kalau setetes air matanya telah jatuh melewati pipinya yang bisa dilihat oleh Abi, Umi dan Lula sendiri.
“Hanya itu kah peyebabnya? Tak ada yang lain kah?” Rey menatap mata Abi dengan tatapan sendu.
“Tuhan memang satu, hanya kita yang berbeda.” Abi balas menatap Rey, tatapannya menyiratkan permohonan maaf yang dibalas Rey dengan senyuman.
Rey bangkit lalu membungkukkan badannya. “Terima kasih Om,” lalu matanya menatap Lula yang menangis lagi, “Jangan menangis Lula, sampai jumpa lagi. Doakan saya agar saya masuk perguruan tinggi yang saya idamkan yaa. Tante, saya pamit ya, terima kasih.”
Lula semakin menangis melihat punggung Rey yang menghilang di balik pintu rumahnya. Umi langsung mendekap Lula dengan erat dan membisikkan kata ‘sabar anakku’ di telinga sebelah kanannya.
Lula melepaskan pelukan Umi lalu berlari keluar menghampiri Rey yang hendak menaiki motornya.
“Hikss hikss… Rey maafkan aku yaa” Lula berbicara sambil sesegukkan yang membuat Rey terkekeh.
“Tak apa, btw malam ini aku mau pindah ke bandung buat kuliah di sana. aku udah pernah bilang sama kamu kan? Dan aku mau bilang semoga kamu bahagia setelah aku tidak ada lagi di kehidupan kamu.” Rey tersenyum yang membuat Lula semakin menangis dan teduduk di tanah.
Rey menghampiri Lula lalu memegang bahunya berusaha membuat Lula supaya berdiri.
“Heey jangan menangis, jalan hidupmu masih panjang. Carilah seorang pria yang bukan seperti aku lagi.”
“Re-rey aku cu-cuma mau bilang kalau aku cinta sama kamu Rey,” Lula membekap mulutnya berusaha menghetikan sesegukannya.
Rey tersenyum, cintanya terbalaskan. “Aku juga cinta kamu Lula, terima kasih sudah pernah hadir dalam hidupku walau hanya beberapa bulan. Dan aku tau kamu cukup tersiksa dengan ketidak jelasan hubungan yang kita jalani dulu. Tapi hari ini detik ini hubungan kita sudah sangat jelas, kita berdua saling mencintai dan di detik ini juga kita harus berpisah mencari jalan kehidupan kita masing-masing.”
“Dadah Lula” Rey melambaikan tangannya seraya terkekeh meninggalkan Lula yang membekap mulut tak kuasa mehanan tangis. Jika Rey memang jodohku maka dekatkan lah aku dengannya Ya Allah. Batin Lula seolah menghipnotis dirinya sendiri agar ia bisa mengurangi rasa sakit yang ia rasakan sekarang.
Rey pergi. Di dalam sana, di dalam rongga dada Rey seperti ada goresan belati yang tajam telah menggores hatinya. Rasanya perih.
Rey percaya kalau jodoh itu tak kemana, ia juga percaya tuhan adalah penulis skenario terbaik untuk umatnya. Jika memang Lula adalah jodohnya kelak, ia yakin ia akan didekatkan dengan Lula oleh Tuhan.
THE END
Lula menatap hpnya yang bergetar tanda BBM masuk, ia melihat nama yang mengirim pesan kepadanya barusan. Abraham Reynand yang biasa dipanggil Rey. Anak paskib sekaligus kakak kelas yang tampan dengan wajah seperti orang cina dan memiliki satu lesung pipi di sebelah kanannya yang tadi siang ia temui di Café CC seusai pulang sekolah. Ia sangat sering mengunjungi Café CC hanya sekedar memesan satu cheese cake dan secangkir frapuccino lalu duduk berjam jam sambil membaca novel berbau keagamaan yang diberikan oleh Uminya untuk memperdalam ilmu agama; katanya.
“Ooh jadi nama kamu Alula Shahin Lashira, yaa. Nama panggilannya apa, Dek?”
Lula mengetik balasan dengan cepat.
“Lula kak,”
“ooh lula yaa, btw maaf ya tadi siang aku nggak nanyain nama kamu balik :D”
“ooh iya kak gak papa, santai aja,”
“Lagi apa?”
Lula hanya membacanya saja tanpa berniat untuk membalas isi pesan dari Rey. Lula sangat membatasi hubungannya dengan lawan jenis karena Abinya tidak suka jika ia dekat dengan seorang pria yang bukan muhrimnya. Abinya juga melarang Lula pacaran, “Malu Kak sama kerudung, pacaran itu dosa. Kalau Kakak pacaran ntar Abi tendang dari kartu keluarga, mau?” begitu kata Abinya ketika melihat Lula sedang smsan dengan teman cowoknya. Ya Allah, kenapa disaat anak-anak SMA sedang asik-asiknya pacaran Lula malah tidak diperbolehkan pacaran?. Sebegitu mengenaskannya kah masa SMAnya? Lula sangat ingin merasakan hal itu walaupun ia tahu kalau itu dilarang oleh keyakinannya.
—
“Pagi Lula,” Rey muncul ketika Lula sedang berjalan menuju kelas setelah membeli buku di koperasi siswa.
“Pagi juga Kak, permisi” Lula tersenyum lalu menunduk sambil berjalan cepat meninggalkan Rey yang menatapnya penasaran.
Lula memasukkan buku-bukunya ke tas lalu membenarkan kerudungnya yang agak miring.
Seperti biasanya Lula kembali mengunjungi Café CC seusai pulang sekolah. Ia membuka pintu Café lalu matanya langsung bertatapan dengan sepasang mata yang menatapnya dengan pandangan teliti. Lula langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Ia duduk di kursi pojok sambil memakan cheese cakenya. Ia mendongak ketika Rey duduk di depannya tanpa meminta izin kepadanya.
“Siang Lula,” Rey tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
“Siang juga Kak,” Lula balas tersenyum lalu mengambil novel dan membacanya tanpa menghiraukan Rey yang menatapnya dengan pandangan terpesona.
“Suka ke Café ini sambil baca novel gitu ya?” Rey angkat suara setelah keheningan yang begitu dalam karena Lula yang terlarut dengan novel di tangannya sampai seperti tidak menyadari ada seorang manusia di hadapannya.
Imajinasi Lula buyar ketika suara Rey menginterupsi bacaannya.
“Iya Kak, aku udah sering kesini dari kelas 9 sampai kelas 10 sekarang.” ia lalu membaca novelnya kembali.
“Btw kelas Kaka ada di 12-Ips-2 dek, kapan-kapan mampir yaa? kan kelas kita deketan tuh,” kalimat yang membuat Lula seketika menatap heran. Perasaan tadi aku gak nanya dia kelas berapa deh. Pikirnya aneh.
Setelah kejadian itu, berbulan-bulan kemudian Lula dan Rey semakin dekat. Sampai-sampai Rey sering sekali mengunjungi kelas Lula hanya sekedar berbicara ringan dengannya. Lalu membelikannya novel fiksi remaja yang sangat ia inginkan dari dulu, karena ia sudah sangat bosan membaca novel berbau keagamaan. Mereka berdua juga sering ke Café bersama seusai pulang sekolah.
Lula menyembunyikan kedekatannya dengan Rey dari kedua orangtuanya sampai suatu kejadian ketika kegiatan rutin Abi tiap bulan yang selalu memeriksa ponsel Lula dan bodohnya Lula lupa menghapus chat historynya dengan Rey. Abi menemukan pesan-pesan yang sangat banyak dari Rey dan membuatnya murka seketika.
Abinya marah besar apalagi saat tahu Rey berbeda keyakinan dengannya. Lula hanya bisa menangis ketika Abinya marah dengan nada yang membentak terlebih ia sangat terkejut mengetahui bahwa Rey berbeda keyakinan dengan keluarganya. Ia baru tahu.
“Abi, Kakak gak tau kalau Rey beda keyakinan sama kita, hiks hikss,” Umi mengusap punggung anaknya lalu ikut menangis, ini baru pertama kali suaminya itu membentak anak semata wayangnya sendiri. Lula meremas sofa dengan tangannya, takut Abi akan semakin murka.
“Sekarang jawab Abi, kakak suka sama anak ini?” Abi berteriak lalu melempar ponsel Lula ke pintu sampai ponsel itu menjadi kerangka yang mengenaskan. Tidak berbentuk ponsel lagi.
Lula terdiam, yang terdengar sekarang hanyalah keheningan yang mencekam di antara mereka bertiga. Sesekali segukan terdengar dari mulut Lula.
“Iya, Kakak suka sama Rey,” jawaban yang membuat Umi menutup mulutnya tidak percaya. Ia sangat tahu masa-masa seperti Lula ini adalah masa-masa dimana mereka menyukai lawan jenis mereka, tapi dia merasa sangat sedih, kenapa disaat anaknya menyukai pria malah berbeda keyakinan dengan keluarganya yang sangat agamis. Terlebih kata orang, cinta beda keyakinan itu sangat kuat, dan sangat sulit untuk dilepaskan maupun dipisahkan. Dan itu membuat Umi sangat sedih, pilihannya hanya satu mereka berdua harus menjauh dari sekarang atau akan berdampak kedepannya.
“Jauhin dia.” Abi berucap dengan nada perintah yang sangat dingin. Abi lalu berjalan ke arah kamar dengan langkah gontai.
Seorang di luar sana mengetuk pintu lalu dengan sigap Bi ijah -pembantu- membukanya.
“Selamat sore, Lulanya ada?” Rey menatap heran ke bawah melihat sebuah ponsel yang hancur di depan kakinya.
Abi berhenti melangkah lalu menatap ke pintu. Seorang pria yang sangat ia yakini itu adalah Rey. Beraninya anak itu datang ke rumah. Batin Abi lalu mengampiri Rey di depan pintu yang menatap Bi Ijah dengan heran karena sepertinya perempuan tua itu gugup mau menjawab apa.
Rey mengalihkan tatapannya kepada dua orang wanita yang duduk di sofa, yang satu sedang menangis dan yang satu lagi sedang mengusap punggung wanita yang menangis sambil menatap bingung ke arahnya.
“Kamu yang namanya Rey?” Bi Ijah menyamping memberi tempat agar Abi bisa berbicara dengan tamu yang masih berada di depan pintu itu. Lalu ia pergi ke belakang berusaha agar tidak ikut campur dalam masalah keluarga ini.
Pandangan Rey beralih ke arah pria berperawakan tinggi besar dengan wajah kearab-araban yang menatapnya dengan amarah. Kenapa ini?. batin Rey bingung.
“I-iya Om, Kenapa Lula menangis?” tangannya bergerak lalu menunjuk Lula yang sedang menangis.
“Beraninya kamu datang ke rumah ini, plaakk” Abi menampar Rey sampai pipi sebelah kanan Rey tercetak 5 jari dengan warna merah. Rey meringis lalu memegang pipinya yang terasa panas. Matanya menyiratkan kebingungan sekaligus kemarahan.
“Saya baru datang dan sudah disambut dengan tamparan. Ini maksudnya apa, Om?” Rey menaikkan dua oktaf suaranya di akhir kalimat.
“Kamu yang sudah membuat Lula menangis, dan sekarang pergi kamu. Dan jauhin Lula!!” Abi berteriak lalu hendak menutup pintu tapi tidak jadi karena di tahan Rey.
“Nggak, gak akan, saya gak akan pergi sebelum om jelasin apa maksud semua ini?” Abi kembali membuka lebar pintu rumahnya. Lula yang tadinya hanya menutup wajahnya dengan telapak tangan menengadahkan wajahnya lalu menatap Rey yang terkejut melihat wajah Lula yang amat sangat berantakan.
“Boleh saya masuk? Tidak baik jika seorang tamu hanya berdiam di depan pintu tapi tidak di ajak masuk oleh pemilik rumahnya.” Ucap Rey dengan nada menyindir. Abi berdehem lalu menyuruh Rey untuk duduk di sofa.
“Kerja apa kamu?” Abi langsung melontarkan pertanyaan itu kepada Rey yang langsung di jawab Rey dengan kernyitan di dahi.
“Baru lulus SMA Om,”
“Cinta sama Lula?” tanya Abi dingin yang langsung membuat Rey terdiam. Lula melihat Rey dengan mata yang membengkak.
“Iya om,” jawab Rey lirih setelah sepuluh detik ia terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Lula cukup terkejut mendengar jawaban Rey, ia kira Rey tidak mencintainya seperti ia mencintai Rey. Ahamdulillah cintanya terbalaskan. Tapi yang sungguh tragis adalah di saat ia baru pertama kali menyukai laki-laki di saat itu juga ia tidak direstui oleh kedua orangtuanya. Cobaan yang begitu berat.
Abi bangkit lalu menuding wajah Rey, “Saya gak mau anak saya punya hubungan dengan kamu!, sekarang jauhin Lula dan biarkan dia hidup bahagia dengan pasangan hidupnya kelak yang pasti itu bukan kamu!” mata Abi memerah akibat berkobarnya api amarah di hatinya yang kembali menyala.
Umi bangkit lalu menyentuh bahu Abi berusaha menenangkannya. Abi kembali duduk dengan dada naik turun.
Rey sempat terkejut dengan ucapan Abi barusan. Tidak direstui kah?. Jelek kah aku?. Tak pantas kah aku mencintai anaknya?. Kata itu terus berputar-putar di kepala Rey yang membuatnya pening.
“Kenapa Om? Apakah saya tidak pantas untuk memiliki separuh hati anak Om? Apakah saya tidak pantas untuk bersanding dengan anak Om kelak? Apa saya terlihat sangat buruk di mata anda?….” Rey berucap dengan lirih seolah ini adalah cobaan yang begitu berat yang ia alami semasa hidupnya.
“Saya manusia Om, saya berhak memiliki rasa kepada siapa pun, termasuk kepada Lula,”
“Karena kita beda,” ucap Abi lirih.
Rey mulai mengerti apa masalahnya saat ini, ia paham. Sangat paham, yang dipermasalahkan dari hubungannya adalah keyakinan, yang membuat orang tua Lula tidak menyukai dia berhubungan dengan Lula adalah keyakinan. Yang membuatnya seperti ini adalah keyakinan. Iya keyakinan!. Sungguh alasan yang begitu membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Rey tersenyum miris. Ia tidak sadar kalau setetes air matanya telah jatuh melewati pipinya yang bisa dilihat oleh Abi, Umi dan Lula sendiri.
“Hanya itu kah peyebabnya? Tak ada yang lain kah?” Rey menatap mata Abi dengan tatapan sendu.
“Tuhan memang satu, hanya kita yang berbeda.” Abi balas menatap Rey, tatapannya menyiratkan permohonan maaf yang dibalas Rey dengan senyuman.
Rey bangkit lalu membungkukkan badannya. “Terima kasih Om,” lalu matanya menatap Lula yang menangis lagi, “Jangan menangis Lula, sampai jumpa lagi. Doakan saya agar saya masuk perguruan tinggi yang saya idamkan yaa. Tante, saya pamit ya, terima kasih.”
Lula semakin menangis melihat punggung Rey yang menghilang di balik pintu rumahnya. Umi langsung mendekap Lula dengan erat dan membisikkan kata ‘sabar anakku’ di telinga sebelah kanannya.
Lula melepaskan pelukan Umi lalu berlari keluar menghampiri Rey yang hendak menaiki motornya.
“Hikss hikss… Rey maafkan aku yaa” Lula berbicara sambil sesegukkan yang membuat Rey terkekeh.
“Tak apa, btw malam ini aku mau pindah ke bandung buat kuliah di sana. aku udah pernah bilang sama kamu kan? Dan aku mau bilang semoga kamu bahagia setelah aku tidak ada lagi di kehidupan kamu.” Rey tersenyum yang membuat Lula semakin menangis dan teduduk di tanah.
Rey menghampiri Lula lalu memegang bahunya berusaha membuat Lula supaya berdiri.
“Heey jangan menangis, jalan hidupmu masih panjang. Carilah seorang pria yang bukan seperti aku lagi.”
“Re-rey aku cu-cuma mau bilang kalau aku cinta sama kamu Rey,” Lula membekap mulutnya berusaha menghetikan sesegukannya.
Rey tersenyum, cintanya terbalaskan. “Aku juga cinta kamu Lula, terima kasih sudah pernah hadir dalam hidupku walau hanya beberapa bulan. Dan aku tau kamu cukup tersiksa dengan ketidak jelasan hubungan yang kita jalani dulu. Tapi hari ini detik ini hubungan kita sudah sangat jelas, kita berdua saling mencintai dan di detik ini juga kita harus berpisah mencari jalan kehidupan kita masing-masing.”
“Dadah Lula” Rey melambaikan tangannya seraya terkekeh meninggalkan Lula yang membekap mulut tak kuasa mehanan tangis. Jika Rey memang jodohku maka dekatkan lah aku dengannya Ya Allah. Batin Lula seolah menghipnotis dirinya sendiri agar ia bisa mengurangi rasa sakit yang ia rasakan sekarang.
Rey pergi. Di dalam sana, di dalam rongga dada Rey seperti ada goresan belati yang tajam telah menggores hatinya. Rasanya perih.
Rey percaya kalau jodoh itu tak kemana, ia juga percaya tuhan adalah penulis skenario terbaik untuk umatnya. Jika memang Lula adalah jodohnya kelak, ia yakin ia akan didekatkan dengan Lula oleh Tuhan.
THE END
Cerpen Karangan: Anida Syarifah
Facebook: https://www.facebook.com/syarie.fah.5
Facebook: https://www.facebook.com/syarie.fah.5
Posting Komentar untuk " Kita Yang Berbeda"