Toleransi, Sekularisme, atau Sinkretisme
Image From Google
Oleh: Buya Hamka (Dalam rubrik Dari Hati ke Hati, majalah Panji Masyarakat tahun 1969)
Tahun 1968 yang baru kita lalui adalah
tahun yang luar biasa. Di tahun 1968, kita berhari raya Idul Fitri
sampai dua kali, yaitu 1 Januari dan 21 Desember 1968.
Maka timbullah inspirasi pada beberapa
orang kepala jawatan dan juga pada beberapa orang menteri Kabinet
Pembangunan, dan keluarlah perintah supaya peringatan halal bi halal
Idul Fitri dan hari Natal digabungkan jadi satu. Diadakan pertemuan
serentak di satu tempat, biasanya di jawatan-jawatan, dan
departemen-departemen: “Lebaran-Natal”. Maka tersebutlah perkataan
bahwasanya bapak Kepala Jawatan atau Bapak Menteri atau Bapak Jenderal
memulai sambutan beliau, bahwa demi kesaktian Pancasila yang wajib kita
amalkan dan amankan, dalam Lebaran-Natal ini kita menanamkan dalam hati
kita, sedalam-dalamnya, apa arti toleransi. Dan diaturlah acara
mula-mula membaca Al-Quran oleh seorang pegawai yang pandai “mengaji”,
kemudian itu diiringi oleh seorang pendeta atau pastor yang sengaja
diundang, dengan membaca ayat-ayat Injil, terutama yang berkenaan dengan
kelahiran “Tuhan” Yesus. Yesus Kristus Juru Selamat Dunia, Anak Alah
yang Tunggal, tetapi Dia sendiri adalah Alah Bapak juga, menjelma ke
dalam tubuh Santa Maria yang suci, untuk kemudian lahir sebagai manusia.
Tentu saja yang lebih banyak hadir dalam
pertemuan Lebaran-Natal itu adalah orang-orang Islam daripada
orang-orang yang beragama Kristen. Si orang Islam diharuskan
mendengarkan dengan penuh khusyu bahwa Tuhan Alah beranak, dan Yesus
ialah Alah. Sebagaimana tadi orang-orang Kristen disuruh mendengar
tentang Nabi Muhammad SAW dengan tenang, padahal mereka diajarkan oleh
pendetanya bahwa Nabi Muhammad bukan nabi, melainkan penjahat. Dan
Al-Quran bukanlah kitab suci, melainkan buku karangan Muhammad saja.
Kedua belah pihak, baik orang Kristen
yang disuruh tafakur mendengarkan Al-Quran, atau orang Islam yang
disuruh mendengarkan bahwa Tuhan Alah itu ialah satu ditambah dua sama
dengan satu, semuanya disuruh mendengar hal-hal yang tidak mereka
percayai dan tidak dapat mereka terima. Kemudian datanglah komentar dari
protokol, bahwa semuanya itulah yang bernama toleransi, demi kesaktian
Pancasila!
Dan sebagai penutup, disuruh ke muka
seorang kiai membaca doa. Seluruh hadirin yang Islam membaca amin. Pihak
Kristen duduk berdiam diri, dan kita tahu apa yang terasa dalam
hatinya, yaitu muak dan mual. Kemudian naik pula yang pendeta menyebut
doa-doa hari Natal, dan semua orang Islam berdiam diri saja, dan kita
pun tahu apa yang ada dalam hati mereka.
Pada hakikatnya mereka itu tidak ada
yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan,
mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa,
raga, hati, sanubari, dan otak tidak bisa menerima. Kalau keterangan
orang Islam bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi akhir zaman, penutup
sekalian rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan
orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima, kita tidak Kristen
lagi. Dalam hal kepercayaan, tidak ada toleransi.
Sementara para pastor dan pendeta
menerangkan dosa waris Nabi Adam, ditebus oleh Yesus Kristus di atas
kayu palang dan manusia ini dilahirkan dalam dosa, dan jalan selamat
hanya percaya pada cinta dalam Yesus. Telinga orang Islam muntah
mendengarkan.
Bertambah mendalam orang-orang yang
beragama itu meyakini agamanya, bertambah muntah terlinganya
mendengarkan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan pokok
akidah agamanya. Barulah mereka menerima semuanya itu dengan toleransi
kalau agama itu tidak ada pegangannya lagi.
Lantaran itu maka kalau dengan
menggabungkan Lebaran dengan Natal, Muhammad SAW menjemput syariat
sembahyang, lalu turun lagi ke bumi menyampaikan perintah itu, jika
misalnya pula berdekatan tanggalnya dengan Mi’raj Nabi Isa, yang menurut
kepercayaan Kristen bangkit dari kubur setelah tiga hari, lalu naik ke
langit dan kini duduk di sisi kanan Alah, Bapanya yang di surga. Kalau
hal-hal seperti ini diadakan untuk toleransi, demi kesaktian Pancasila,
atau demi mengamalkan dan mengamankan Pancasila, dengan sungguh-sungguh
kita katakan bahwa ini bukan toleransi, melainkan memaksa kedua belah
pihak jadi orang munafik, mengangguk-angguk menerima hal yang tak masuk
di akal—dengan sengaja dan diatur—supaya membuktikan toleransi.
Baru-baru ini Pimpinan Pusat Ikatan
Pemuda Muhammadiyah sudah menjelaskan bahwasanya doa bersama dalam hari
peringatan tidaklah dibolehkan dalam ajaran Islam. Doa demikian pun
tidak akan dapat diterima karena doa adalah ibadah dan ada sendiri
ketentuannya.
Orang Islam meminta kepada Tuhan Allah
Yang Satu, yang tidak ada syarikat bagi-Nya, sedang pastor dan pendeta
akan berdoa meminta kepada Alah Bapak, Alah Putera, dan Alah Rohul
Kudus.
Semangat toleransi yang sejati, yang
logis, yang masuk akal ialah ketika orang Islam berdoa, orang Kristen
meninggalkan tempat berkumpul. Dan ketika pastor berdoa kepada Tiga
Tuhan, orang Islam keluar.
Zaman akhir-akhir ini sudah ada gejala
toleransi paksaan itu, dalam hal-hal resmi atau tidak resmi. Untuk
tenggang-menenggang, seorang kiai disuruh baca doa dan untuk menunjukkan
bahwa pemerintah berlapang dada, ditambah lagi dengan doa orang
Katolik. Sesudah itu dengan doa Protestan, sesudah itu dengan doa
Hindu-Bali, dan dengan doa secara Buddha.
Orang tidak memperhitungkan bagaimana
perasaan dari pemeluk agama itu sendiri, atau orang yang tekun utuh
dalam agama yang dipeluknya. Terutama orang Islam yang 85% bangsa
Indonesia terdiri dari mereka.
Yang menganjurkan doa bersama, atau
perayaan Lebaran-Natal, atau barangkali nanti Natal-Maulid, bukanlah
orang yang mempunyai kesadaran agama, melainkan orang-orang sekuler,
yang baginya masa bodoh apakah Tuhan satu atau beranak, sebab bagi
mereka agama itu hanya iseng! Atau orang sinkretisme, yang mencari
segala penyesuaian di antara segala yang berbeda, lalu dari segala yang
sesuai itu mereka membuat sesuatu yang baru.
Sinkretisme inilah yang menyebabkan
timbulnya agama Shiwa-Buddha di zaman dahulu di Jawa Timur. Sinkretisme
ini pulalah yang menyebabkan orang Hindu asli di India menuhankan sapi,
dan Hindu-Bali di Indonesia mengganyang daging sapi. Dan Keduanya bisa
akur saja, demi sinkretisme cara Indonesia, cari saja yang sesuai dan
bikin sesuatu yang baru.
Gejala seperti ini yang kita lihat
sekarang. Dengan setengah paksaan dianjurkan doa bersama, ibadat
bersama, kebaktian bersama di antara orang-orang berlainan kepercayaan,
dan dikatakan itulah semangat Pancasila! Sehingga disadari atau tidak,
Pancasila boven alles, di atas dari semua agama, dan
orang-orang yang sama sekali tidak mengamalkan satu agama merasa dirinya
pemimpin tertinggi, melebihi ulama dan pendeta, kiai dan pastor. Dan
barang siapa yang tidak menyetujui, dituduh anti-Pancasila dan tidak
toleransi, dan tidak menunjukkan “kepribadian” Indonesia.
Selama pena ini masih bisa menulis dan mulut masih bisa berkata, kita katakan terus terang: “Bukan begitu yang toleransi!”
Bahkan itu adalah merusak agama, memaksa
orang menelan sesuatu yang berlawanan dengan inti kepercayaannya. Dan
pemuka-pemuka agama yang sadar akan tetap menolaknya. Kita bukanlah
menolak Pancasila. Sejak Pancasila diasaskan pada 25 tahun yang lalu,
kita sudah menyatakan tidak keberatan.
Tetapi kita tegaskan bahwasanya
keselamatan dan keamanan Pancasila itu hanya akan terjamin, apabila umat
yang beragama khususnya umat Islam taat setia melaksanakan agamanya,
bukan disuruh pindah dari agamanya menuju suatu kekaburan yang dinamai
Pancasila. Dan bukan disuruh membuat suatu macam upacara, kebaktian,
doa, dan sebagainya bersama-sama dengan pemeluk agama lain yang
berlainan akidah dan kepercayaan.
Orang agama lain itu sendiri pun tidak
akan dapat menerima suatu upacara baru yang tidak ada dalam agama itu.
Dan ini hanya akan bisa dilakukan oleh pemeluk-pemeluk agama yang tidak
punya pendirian, yang lupa tanggung jawabnya di hadapan Tuhan karena
hendak mengambil muka atasan.
Sehingga pernah terjadi, seorang
pembicara di dalam pertemuan besar mengatakan bahwa Nabi Isa disalib,
padahal ia pemuka Islam. Dan pernah terjadi seorang kiai membaca doa di
hadapan umum, dan doa itu diambil dari “Khutbah Gunung”, pidato Yesus
Kristus dalam Injil yang beredar sekarang. Demi toleransi, kiai tidak
membaca lagi doa yang warid dari ajaran Rasulullah SAW.
Tentu orang-orang itu dapat pujian
atasan dan disambut dengan tepuk tangan oleh orang-orang Kristen, tetapi
dia tidak sadar bahwa dengan apa yang dinamainya “toleransi” itu dia
telah mengorbankan akidah agamanya.
Posting Komentar untuk "Toleransi, Sekularisme, atau Sinkretisme "