Apa Itu Salaf ? Siapakah Mereka ?
Makna Salaf
Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti sesuatu yang telah lampau. Berikut ini kami nukilkan definisi ‘salaf’ dari beberapa kamus bahasa Arab yang kredibel [1]) ;
Ibnul Atsir –rahimahullah– mengatakan:
وَقِيْلَ سَلَفُ الإِنْسَانِ مَنْ تَقَدَّمَهُ بِالْمَوْتِ مِنْ آبَائِهِ وَذَوِي قَرَابَتِهِ وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ مِنْ التَّابِعِينَ السَّلَفَ الصَّالِحَ. {النهاية في غريب الأثر – (ج 2 / ص 981)}
“Salaf seseorang juga diartikan
sebagai siapa saja yang mendahuluinya (meninggal lebih dahulu), baik
dari nenek moyang maupun sanak kerabatnya. Karenanya, generasi pertama
dari kalangan tabi’in dinamakan As Salafus Shaleh” [2])
Perhatikanlah firman-firman Allah berikut:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau…” (Q.S. An Nisa’:22).
Katakanlah kepada orang-orang yang
kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan
mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan
jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka)
sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38).
Jadi, ‘Salaf ’ artinya mereka yang telah berlalu. Sedangkan kata ‘shaleh’ artinya baik. Maka ‘As Salafus Shaleh’ maknanya secara bahasa ialah setiap orang baik yang telah mendahului kita. Sedangkan secara istilah, maknanya ialah tiga generasi pertama dari umat ini, yang meliputi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Dalam kitab Al Wajiez fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut:
وَفِي الاِصْطِلاَحِ : إِذَا أُطْلِقَ (( السَّلَفُ )) عِنْدَ عُلَمَاءِ الاِعْتِقَادِ فَإِنَّمَا تَدُورُ كُلُّ تَعْرِيْفَاتِهِمْ حَوْلَ الصَّحَابَةِ، أَوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، أََوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِيْهِمْ مِنَ الْقُرُوْنِ الْمُفَضَّلَةِ ؛ ِمنَ الأَئِمَّةِ الأَعْلاَمِ الْمَشْهُودِ لَهُمْ بِالإِمَامَةِ وَالفَضْلِ وَاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَالإِمَامَةِ فِيهَا ، وَاجْتِنَابِ الْبِدْعَةِ وَالْحَذَرِ مِنْهَا، وَمِمَّنْ اتَّفَقَتِ الأُمَّةُ عَلىَ إِمَامَتِهِمْ وَعَظِيْمِ شَأْنِهِمْ فِي الدِّيْنِ ، وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ. (الوجيز 1/15)
Secara istilah; kata ‘salaf’ jika
disebutkan secara mutlak (tanpa embel-embel) oleh ulama aqidah, maka
definisi mereka semuanya berkisar pada para sahabat; atau
sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang yang
mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk diantaranya
para Imam yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya serta
keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan
memperingatkan orang dari padanya. Demikian pula orang-orang (lainnya)
yang telah disepakati akan keimaman dan jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15).
Demikian pula yang dinyatakan oleh Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy dalam kitabnya ‘Syarh Aqidah At Thahawiyah’:
…هَذَا قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ ، وَهُمُ السَّلَفُ الصَّالِحُ…
“…Ini adalah pendapat para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dan mereka lah As Salafus Shaleh…” [3]).
Kalau saudara bertanya: Mana dalilnya yang mengharuskan kita mengikuti pemahaman mereka? Maka kami jawab, ini dalilnya;
- Dari Al Qur’anul Kariem:
Ayat Pertama
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalannya orang-orang mu’min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu,
dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali (QS. 4:115).
Penjelasannya:
Cobalah anda renungkan kalimat yang
bercetak tebal di atas. Bukankah Allah telah menyatakan bahwa diantara
sebab tersesatnya seseorang ialah karena ia mengikuti jalan yang lain
dari jalan orang-orang beriman (ghaira sabilil mu’minin)? Pertanyaannya; siapakah orang-orang beriman yang dimaksud oleh ayat ini? Jelas
bahwa orang-orang yang pertama kali masuk dalam kategori ayat ini ialah
mereka yang telah beriman saat ayat ini diturunkan… mereka lah para
sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Karenanya Imam Syafi’i berdalil dengan ayat ini bahwa ijma’nya para sahabat adalah hujjah (dalil), dan barangsiapa menyelisihi ijma’ mereka berarti termasuk orang-orang yang terancam oleh ayat di atas [4]).
Ayat Kedua
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada-Nya; dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar (QS. 9:100).
Penjelasannya:
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Allah
telah meridhai para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Mereka semua (muhajirin
& anshar) telah dijamin surga oleh-Nya. Lantas mengapa kita mencari
teladan selain mereka yang belum tentu masuk surga dan selamat dari
neraka?? Padahal di hadapan kita telah terbentang jalan yang terang
benderang menuju Surga dan keridhaan Allah… Jalan manakah yang lebih baik dari jalan mereka…?!
Masihkah kita meyakini bahwa ada golongan lain yang lebih rajin beribadah, dan lebih bertakwa dari mereka?
Mungkinkah kita akan mendapati sebuah amal shaleh yang belum mereka
ketahui? Patutkah kita mencurigai atau menyangsikan keseriusan mereka
dalam mengamalkan setiap yang baik…? Ataukah semestinya kita mencurigai
siapa pun yang datang setelah mereka, bila ia mengada-adakan suatu
praktik ibadah yang belum pernah mereka lakukan… Bagaimana menurut
pembaca?
Ayat Ketiga:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (QS. 9:119)
Ayat Keempat:
Bagi para fuqara yang berhijrah yang
diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
(Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang
yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam
hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang
Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan
itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah
orang-orang yang beruntung (QS. 59: 8-9).
Penjelasan ayat ketiga dan keempat:
Dalam dua ayat ini Allah memerintahkan semua orang yang beriman agar bersama dengan orang-orang yang benar (ash shaadiquun),
kemudian Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang benar tersebut ialah
para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Sedang dalam kaidah
ushul fiqih, setiap perintah itu hukumnya wajib hingga ada dalil lain
yang menggesernya menjadi mustahab (sunnah) atau mubah, dan dalil tersebut tidak ada. Kesimpulannya, kita wajib mengikuti jalan mereka.
Ayat Kelima:
Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya, berarti mereka telah mendapat petunjuk… (QS. 2:137).
Penjelasan ayat kelima:
Konteks ayat ini selengkapnya merupakan
bantahan terhadap klaim orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengatakan
bahwa barangsiapa mengikuti mereka niscaya akan mendapat petunjuk (ayat
135). Maka Allah membantah klaim mereka tersebut, kemudian memerintahkan
mereka untuk mengatakan: kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa
yang diturunkan kepada kami,…. dan seterusnya (ayat 136). Kemudian Allah
menentukan hakikat keimanan tadi; Jika mereka beriman dengan apa yang kalian beriman dengannya[5]), maka mereka telah mendapat petunjuk. Yang dimaksud dengan kata ‘kalian’ di sini ialah para sahabat.
Jadi, jelas sekali bahwa jalan
satu-satunya untuk mendapatkan petunjuk ialah dengan mengikuti manhaj
para salaf, terutama generasi sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Ayat Keenam:
Ketika orang-orang kafir menanamkan
dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah, lalu Allah
menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa dan adalah mereka lebih berhak dengan kalimat taqwa itu dan merekalah ahlinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 48:26).
Penjelasan ayat keenam:
Ayat ini menyingkap bagi kita akan arti
takwa yang sesungguhnya, sekaligus menjelaskan bahwa para sahabatlah
yang paling bertaqwa. Perhatikanlah ayat di atas bahwa yang memberi
“stempel ahli taqwa” bukanlah manusia, jin, ataupun makhluk lainnya…
tetapi Pencipta alam semesta; Allah ‘azza wa jalla.
Namun sayangnya, masih banyak orang yang
berat menerima pengertian ini. Mereka merasa ada banyak cara untuk
bertakwa kepada Allah yang terluputkan oleh para sahabat.
- Dalil dari As Sunnah
Berikut ini beberapa hadits yang menjadi landasan dalam bermanhaj salafus shaleh;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ… أخرجه البخاري ( 2652, 3651, 6429) و مسلم ( 2533 )
Dari Abdullah (ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik
manusia ialah mereka yang hidup di zamanku, kemudian yang datang
setelah mereka, kemudian yang datang setelahnya lagi…” (H.R. Bukhari no 2652,3651,6429; dan Muslim no 2533).
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ رَبِّ الْكَعْبَةِ قَالَ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ جَالِسٌ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَالنَّاسُ مُجْتَمِعُونَ عَلَيْهِ فَأَتَيْتُهُمْ فَجَلَسْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم صلى الله عليه وسلم في سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلًا فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ وَمِنَّا مَنْ يَنْتَضِلُ وَمِنَّا مَنْ هُوَ فِي جَشَرِهِ إِذْ نَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الصَّلَاةَ جَامِعَةً فَاجْتَمَعْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِي إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِي أَوَّلِهَا وَسَيُصِيبُ آخِرَهَا بَلَاءٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا … الحديث
Dari Abdurrahman bin Abdi Rabbil Ka’bah katanya: Sewaktu aku masuk ke masjidil haram, kudapati Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu
sedang duduk berteduh di bawah ka’bah, sedangkan di sekelilingnya ada
orang-orang yang berkumpul mendengarkan ceritanya. Lalu aku ikut duduk
di majelis itu dan kudengar ia mengatakan: “Pernah suatu ketika kami
bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam suatu
safar. Ketika kami singgah di sebuah tempat, diantara kami ada yang
sibuk membenahi kemahnya, ada pula yang bermain panah, dan ada yang
sibuk mengurus hewan gembalaannya. Tiba-tiba penyeru Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berseru lantang: “Ayo… mari shalat berjamaah!!” maka segeralah kami berkumpul di tempat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
tak ada seorang Nabi pun sebelumku, melainkan wajib baginya untuk
menunjukkan umatnya akan setiap kebaikan yang ia ketahui; dan
memperingatkan mereka dari setiap kejahatan yang ia ketahui. Sesungguhnya
umat kalian ini ialah umat yang keselamatannya ada pada generasi
awalnya; sedangkan generasi akhirnya akan mengalami bala’ dan berbagai
hal yang kalian ingkari… al hadits” (H.R. Muslim no 1844).
Kami rasa dua hadits di atas cukup jelas
maknanya bagi para pembaca. Jadi, jelaslah bahwa generasi awal (As
Salafus Shaleh) dari umat ini, ialah generasi terbaik yang terpelihara
dari fitnah-fitnah besar yang menimpa umat ini di kemudian hari. Maka
wajar jika manhaj mereka yang paling dekat kepada kebenaran, dan paling
terjaga dari penyimpangan. Kemudian disusul oleh generasi kedua dan
ketiga.
Berangkat dari sini, maka setiap praktik
ibadah yang muncul sepeninggal mereka harus kita waspadai. Janganlah
terkecoh dengan banyaknya pengikut, karena jumlah yang banyak bukanlah
jaminan sebuah kebenaran.
[1]) Sengaja kami menyebutnya dengan kamus bahasa Arab yang kredibel,
agar kita tidak sembarangan menukil makna suatu kalimat. Seperti yang
dilakukan oleh Novel ketika mendefinisikan bid’ah dengan menukil dari
kamus Al Munjid (Mana Dalilnya 1, hal 13). Padahal kamus ini
ditulis oleh seorang pendeta katholik sekte Yesuit yang bernama Louis
Ma’louf!! Lantas bagaimana kita hendak mempercayai tulisannya kalau
narasumbernya saja seperti ini, laa haula walaa quwwata illa billaah…
[2]) An Nihayah fi Ghariebil Hadits wal Atsar, 2/981. Definisi yang sama juga dinyatakan oleh Ibnu Mandhur dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy dalam Taajul ‘Aruus (kamus Arab terbesar & terlengkap dalam sejarah, terdiri dari 35 jilid) lihat dalam bab Fa’ (ف), kata ‘sa-la-fa (سلف)’.
[3]) hal 146 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, cet. Wizarah Syu’un Islamiyyah wal Auqaf, Saudi Arabia.
[4]) Lihat kitab Al Ihkaam fi Ushuulil Ahkaam, 1/200 tulisan As Saif Al Aamidy cet. Al Maktabul Islamy. Demikian pula dalam Al Mankhul min Ta’lieqaatil Ushuul, 1/401 tulisan Al Ghazali, cet. Daarul Fikr.
[5]) Begini menurut versi terjemahan Depag, akan tetapi dalam Tafsir Al Baghawy
disebutkan makna lainnya yang lebih jelas, seperti: jika mereka (ahli
kitab) beriman dengan iman kalian, mentauhidkan Allah dengan tauhid
kalian, berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
Sedang dalam Tafsir Ibnu ‘Arafah disebutkan:
« فَإِنْ ءَامَنُوُاْ » بسبب مثل الأسباب التي أرشدتكم أنتم إلى الإيمان فقد اهتدوا
“Jika mereka beriman dengan menempuh
sebab-sebab yang telah menghantarkan kalian kepada Iman (yang
sesungguhnya), berarti mereka telah mendapat petunjuk”.
*****
Penulis : Ustadz Dr. Sofyan Basweidan MA (Doctoral Hadits, Universitas Islam Madinah, KSA)
Sumber : Basweidan.com
Posting Komentar untuk "Apa Itu Salaf ? Siapakah Mereka ?"